Berbicara tentang pendidikan, tidak bisa lepas dari pemikiran dan prinsip dasar pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), bapak pendidikan bangsa Indonesia. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. Upaya kebudayaan (pendidikan) menurut Ki Hajar dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni; Kontinyu, Konsentris, dan Konvergen. Sedangkan pelaksanaan pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang beliau beri nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu: Alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda.
Ki Hajar Dewantara terkenal dengan ajarannya Sistem Among ( Tutwuri handayani, Ing Madya mangun karsa, Ing ngarsa sung tulada)  di Tamansiswa. Sistem among ialah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan 1) Kodrat Alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat cepatnya dan sebaik-baiknya; 2) Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka.
Apa yang terjadi sekarang ini? Dunia pendidikan di hebohkan dengan tawuran antar pelajar mulai dari anak-anak SMP, SMA/SMK sampai perguruan tinggi, hampir setiap hari menghiasi surat kabar dan Televisi. Para guru rame mencari metode dan model pengajaran yang relevan dengan era dan jaman yang serba di gital. Mereka lupa, bahwa kita punya seorang pahlawan pendidikan yang seharusnya jadi tauladan dan panutan para siswa dan pendidik di negeri ini. Di lingkungan masyarakat, para pemimpin dan pejabat kita seperti kehilangan karakter dan kepribadian bangsa. Erosi sikap dan perilaku sudah menjalar bukan hanya dilingkungan para siswa dan guru tetapi hampir di semua lapisan kehidupan masyarakat dan bangsa kita. Adakah kesalahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan kita ?

Grand Design Pendidikan
Saat diminta pendapatnya mengenai hal tersebut, Ketua Umum PB PGRI, Dr. Sulistiyo, M.Pd mengungkapkan, bahwa hingga saat ini kita belum memiliki Grand Design pendidikan yang baik, karena itu pembangunan pendidikan di Indonesia pun jadi tidak memiliki arah yang jelas. Banyak persoalan muncul dan pemerintah pun tak mampu mengatasinya secara tuntas. Dalam penyusunan kebijakan pendidikan selama ini para pejabat sering mencontoh dari Negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa kita. Menurut Sulistiyo kondisi bangsa kita sangat khas dan berbeda dengan bangsa lain. Dengan demikian kebijakan yang berhasil dilaksanakan di Negara lain tidak semuanya mampu menjawab persoalan pendidikan bangsa kita.
“Untuk menentukan arah pembangunan pendidikan bangsa, kita seharusnya memiliki grand design pendidikan yang jelas. Selama ini pendidikan nasional kita orientasinya tidak menentu arah dan tujuannya. Padahal, dalam masyarakat dunia yang berubah cepat, tujuan pendidikan suatu bangsa haruslah jelas. Meskipun harus dinamis mengikuti perkembangan zaman, tujuan pendidikan nasional harus tetap bertolak pada kebudayaan, jatidiri, dan karakter bangsa Indonesia”, jelasnya.
Untuk itu PB PGRI telah menggelar konvensi nasional dalam rangka menyusun grand design pendidikan dengan melibatkan praktisi pendidikan, akademisi, professional, birokrat, dan aktivis peduli pendidikan serta tokoh-tokoh penting di negeri ini. Kegiatan itu telah dilaksanakan tanggal 18 – 19 Februari 2014. Hasil konvensi nasional tersebut telah dirumuskan oleh Tim dan diwujudkan dalam buku Pendidikan untuk transformasi bangsa, dengan tema Arah Baru Pendidikan Untuk Perubahan Mental Bangsa. Setelah digelar peluncuran di kantor PB PGRI, Selasa (14/10/2014) buku tersebut telah dikirim ke berbagai pihak termasuk kepada pemerintah.
Sulistiyo yang juga anggota DPD RI asal Jateng itu mengungkapkan, bahwa buku yang disusun oleh Tim PB PGRI tersebut memuat banyak pemikiran dan gagasan para ahli sehingga tepat dijadikan rujukan untuk menyusun grand design dan arah pembangunan pendidikan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan pembangunan pendidikan, masyarakat, bangsa dan negara. 
Selain Sulistiyo, pakar pendidikan HAR Tilaar juga menegaskan, pendidikan di Indonesia belum memiliki arah tujuan yang jelas untuk menyiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Padahal, Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan kehidupan bangsa.
”Neoliberalisme sudah masuk ke dunia pendidikan sehingga arah pendidikan menjadi tidak jelas seperti sekarang,” kata Tilaar.

Revolusi Mental
Drs. Sahono, M.Pd, Kepala UPTD  Pendidikan Kec. Grogol, Kabupaten Sukoharjo mengungkapkan, bahwa terkait pembangunan pendidikan dan karakter bangsa, pemerintahan baru, presiden Jokowi telah mengeluarkan konsep “Revolosi Mental”.  Hal ini menurutnya relevan dengan UU no 20 tahun 2003 tentan Sistem Pendidikan Nasional yaitu pendidikan yang bertujuan mengembangkan kemampuan, mental, watak, dan perdaban bangsa yang bermartabat, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia mencatat beberapa kebijakan yang telah dilaksanakan antara lain: KIP (Kartu Indonesia Pintar) tetapi menurutnya perlu disempurnakan baik kriteria penerima maupun data penerimanya sehingga progam ini tepat sasaran. Dengan demikian upaya pemerataan pendidikan dan pendidikan yang berkeadilan bagi semua anak bangsa bisa terwujud.

Kurikulum 2013
Pengurus PGRI Kabupaten Sukoharjo yang berpengalaman sebagai guru ini menilai pemberlakuan kurikulum 2013 perlu didukung kesiapan seluruh infrastruktur-nya. Guru, Kepala Sekolah, Pengawas, dan Tenaga kependidikan yang lain harus menguasai baik filosofisnya maupun implementasinya. Selain itu buku-buku juga harus tersedia di sekolah-sekolah baik untuk siswa maupun gurunya. Empat standar yang berubah secara fundamental harus sudah disiapkan yaitu: Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Proses, dan Standar Penilaian.
Selanjutnya, regulasi dan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah perlu disinkronkan, karena di era otonomi daerah ini menurutnya sering terjadi regulasi dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak matching. Ia memberi contoh, di Pusat melalui sistem Dapodik sudah menerapkan Permendikbud No. 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Periodisasi Kepala Sekolah empat tahunan dan bisa diangkat kembali periode yang ketiga kalinya kalau nilai kinerjanya amat baik dan ditempatkan di sekolah lain yang nilai akreditasi sekolahnya di bawah sekolah sebelumnya. Tetapi di daerah belum melaksanakan regulasi itu sehingga banyak Kepala Sekolah yang SK-nya dinyatakan kadaluwarsa. Dampaknya jumlah jam mengajarnya berkurang sehingga tidak bisa terbit SKTP (Surat Keputusan Tunjangan Profesi).
Sahono berharap pemerintahan Jokowi ini bisa melaksanakan konsep “Revolosi Mental” dengan baik dengan dukungan seluruh komponen bangsa sehingga generasi penerus nanti memiliki kecerdasan yang paripurna (kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual) untuk menghadapi persaingan global.

Hak Warga Negara
Lia Maylani Hendriyanti, M.Pd guru SDN Wonosari 02, Ngaliyan, kota Semarang menyatakan, lahirnya hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 membuktikan bahwa Negara Indonesia telah merdeka. Dan dengan kemerdekaan itu, setiap warga Negara Indonesia memiliki kebebasan dan hak untuk memperoleh pendidikan. Para founding fathers telah merumuskan konsep untuk membangun bangsa ini agar menjadi bangsa yang unggul dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Hal tersebut tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan dalam pasal 31 Ayat 2.

Peran Orang Tua
Diungkapkan, selama ini banyak kritik masyarakat terhadap pendidikan yang dinilai lebih berorientasi pada ranah kognitif, mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai akademik tetapi kurang memperhatikan ranah afektif dan psikomotor, pembentukan sikap, moral dan karakter peserta didik. Guru yang pandai berbahasa inggris dan kini tengah mengikuti lomba guru berprestasi ini meyakini, sebagian besar guru sudah berusaha menerapkan pembelajaran yang berkarater, karena menurutnya setiap guru pasti menginginkan siswanya kelak menjadi manusia yang cerdas dan berbudi luhur seperti yang dicita-citakan para founding father. Tetapi diakui, pembentukan karakter siswa kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu tidak bisa lepas dari peran orang tua dan keluarga di rumah serta lingkungan tempat tinggal siswa yang bersangkutan. Lingkungan rumah, menurut Lia mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perkembangan dan karakter siswa. Karena itu kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan pemerintah akan menciptakan pendidikan yang baik bagi siswa untuk kepentingan masyarkat, bangsa dan negara. Lia pun meyakini, bahwa pendidikan yang hanya mengejar kemajuan ilmu pengetahuan tetapi meninggalkan jati diri, karakter dan budaya bangsa berarti menyimpang dari amanat UUD 1945 dan cita-cita para pendiri bangsa.

Revolusi mental yang sedang dielu-elukan saat ini menurut Lia Maylani sangatlah penting dan bermanfaat untuk segera kita wujudkan. Meningkatnya angka kejahatan dari anak-anak usia dini, remaja sampai orang tua saat ini sangat memprihatinkan. Karena itu harus menjadi perhatian kita semua untuk dipikirkan bagaimana solusinya. Keberhasilan dan kemajuan suatu bangsa bergantung pada penerus bangsanya. Generasi penerus bangsa yang mempunyai mental kuat dan berkepribadian baik akan menjadi modal dalam melaksanakan revolusi mental demi terpenuhinya rasa aman, damai, dan sejahtera bagi seluruh rakyat. (d4)
Axact

Sam Agustiadi

Jika merasa puas atau ada keluhan silahkan tulis dengan bijak di kolom komentar

Post A Comment:

0 comments: